Rabu, 23 Juli 2008

Bintang Maha Putra Utama Republik Indonesia



Pada tanggal 09 November 2007, Pemerintah melalui Presiden R.I Dr H.. Susilo Bambang Yudhoyono telah menganugerahkan Bintang Maha Putra Utama kepada Prof DR Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, yang selama hayatnya lebih lama berkarya diluar tanah kelahirannya.

Catatan perjalanan hidup Almarhum di Aceh tidaklah berjalan mulus banyak benar perlakuan yang diterimanya, yang mengindikasikan bahwa pemikirannya yang dikemukakan kepada masyarakat pada saat itu, telah melampaui daya nalar masyarakat.

Pengalaman hidup almarhum di Aceh dimulai pada tahun 1925 dengan usahanya membuka Madrasah Al Irsyad di kota Lhokseumawe, meniru model Sekolah Modern, Usahanya ini dituduh meniru model sekolah kafir, karena mencoba mengajar kepada murid-muridnya dengan duduk berbanjar diatas bangku dan menggunakan papan tulis tidak duduk melingkar diatas tikar. Alasan pengkafiran ini karena adalah satu pelanggaran, jika ada murid duduk didepan dan ada yang duduk dibangku belakang. Sehingga saat giliran membaca Al Qur-an bagi murid yang duduk dibelalakang ada yang membelakanginya, Sehingga Sekolah Al Irsyad terpaksa ditutup karena tak ada murid yang mau mendaftar.

Kemudian Hasbi mencoba mendirikan Madrasah Al Huda di Krueng Mane, yang terpaksa gulung tikar terkena Ordonansi Guru 1906 yang dikeluarkan Pemerintah Kolonial Belanda.

Karena kegiatannya di Muhammadiyah Hasbi dianggap orang yang tidak dikehendaki. Hasbi ditangkap pada Maret 1946 di Kantornya Mahkamah Syariah di Kutaraja, dan masuk kedalam target untuk dieksekusi bersama beberapa Uleebalang. Hasbi diangkut dengan Kereta Api dari Stasiun kereta api Kutaraja. menuju Sigli untuk kemudian dibawa ke Tangse. Sewaktu berada dalam gerbong kereta api Hasbi tak sanggup menoleh kearah keluarga, wajahnya sendu karena sudah tahu bakal nasib yang akan dialaminya.

Teungku Daud Tangse menolak melaksanakan eksekusi, karena Aceh akan kehilangan seorang ulama dan bila Aceh tak lagi punya ulama yang pandai bagaimana nasib Aceh dikemudian hari. Hasbi dimasukkan kedalam kamp tawanan di Lembah Burni Telong (Aceh Tengah). Jika di Rusia ada kamp di Siberia untuk menempatkan para lawan politik, maka Kamp Burni Telong padanannya.

Kamp ini yang merupakan barak bagi para penderes getah, adalah bangunan tua, tak ada fasilitas apapun. Para tawanan tidur beralaskan tikar diatas papan, makanan berupa ransum dengan lauk ikan asin, dan jika ada pembagian telur asin, maka jatahnya adalah dalam seminggu sekali. Pernah kami sekeluarga diizinkan menjenguk, dan apa yang terlihat sungguh sangat menyedihkan. Sampai kemudian Hasbi dimasukkan kerumah sakit di Takengon, karena terserang paru-paru (1947) Sampai dibebaskan pada tahun 1948, tak ada proses peradilan dilaluinya. Hasbi tak pernah diinterogasi, tak pernah dibawa kemuka Pengadilan untuk diadili dan bebas karena ada desakan dari Pimpinan Muhammadiyah di Yogyakarta dan Wakil Presiden Muhammad Hatta. Selama menjalani masa tahanan di Burni Telong, bermodalkan kitab Suci Al Qur-an, Hasbi menyiapkan naskah Pedoman Shalat dan Pedoman Dzikir dan Do’a.

Dalam tahun 1951, sebelum berangkat Ke Yogyakarta, Hasbi ditunjuk Pemerintah Pusat untuk menjadi salah seorang dari lima orang anggota Missi Haji Pertama ketanah Suci Mekkah, untuk merintis kerjasama dalam pelaksanaan ibadah haji. Missi ini diketuai oleh K. H. R Adnan Ketua Mahkamah Syariah Islam Tinggi di Surakarta. Penunjukan yang sudah sempat diberitahukan kepada anggota Keluarga, pada saat-saat akhir menjelang keberangkatan, namanya dicoret oleh Pemerintah Aceh dan digantikan oleh orang yang dekat dengan Penguasa saat itu.

Hasbi dan keluarga mendapat berkah sewaktu mendapat undangan dari Panitia Kongres Muslimin Indonesia (KMI) ke XV di Yogyakarta yang diselenggarakan pada tahun 1949. Di Yogya dia diperkenalkan oleh H. Abubakar Aceh kepada Menteri Agama saat itu K. H Wahid Hasyim. Serta kepada K.H Fathurrakhman Kafrawi yang menjadi Ketua Panitia Pendirian Sekolah Persiapam PTAIN.

Tawaran yang menantang ini serta perlakuan-perlakuan yang diterima di Aceh, dengan senang hati Hasbi pindah ke Yogyakarta. Hasbi diangkat menjadi dosen, padahal dia sama sekali tindak punya gelar ilmiah dari sebuah Perguruan Tinggi atau tamatan Perguruan Tinggi di Timur Tengah.

Di Yogya-lah Hasbi bisa mengembangkan diri. Dia menulis buku-buku yang sekarang menjadi buku unggulan. Tafsir An Nuur, Tafsir Al Bayan, Koleksi Hadits-Hadits Hukum serta Mutiara Hadits disiapkan di Yogya diwaktu luang sehabis mengajar. Dengan gaji yang kecil, Hasbi terpaksa mengajar dibeberapa Sekolah. Disamping di PTAIN (yang kemudian pada tahun 1960 berubah menjadi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga).

Atas undangan Gubernur Aceh saat itu Prof Ali Hasymi, pada tahun 1962, Hasbi diminta untuk membuka Fakultas Syariah di Darussalam Banda Aceh, yang merupakan embrio Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry. Hasbi hanya bisa bertahan 1 tahun tinggal di Darussalam, walaupum diberi rumah. Mobil, dan tanah seluas 600 m2 didaerah Lingke (sekarang sudah dijadikan Asrama Haji karena Hasbi tak sempat mengurus balik nama tanah tersebut ke kantor Agraria). Hasbi kemudian kembali ke Yogyakarta. Salah satu sebabnya adalah pemikiran pembaruan yang dikemukakannya yang dianggap terlalu maju masih tidak bisa diterima oleh sebagian masyarakat yang berada disekitar masjid Lamnyong, Darussalam, Banda Aceh.. Dalam salah sebuah diskusi Hasbi mengatakan bahwa Agama Islam harus dipelajari berdasarkan Science (Ilmu Pengetahuan). Oleh sebagian Teungku yang tak terbiasa mendengar kata “science” dikatakan bahwa Hasbi ingin membangun Islam meniru model “said”.

Almarhum mantan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dalam buku Biografinya, “Namaku Ibrahim Hasan” mengatakan bahwa jika dia tak disukai di Aceh adalah hal yang kecil, sebab Hasbi seorang ulama besar juga kurang disukai di tanah kelahirannya sendiri dan terpaksa hijrah keluar Aceh.

Dalam Simposium 100 tahun Hasbi yang diselenggarakan oleh IAIN Ar Raniry dan Dinas Kebudayaan Propinsi NAD, September 2003, yang dibahas oleh para Teungku bukan substansi pemikiran berdasarkan makalah yang dipresentasikan oleh beberapa Guru besar baik dari IAIN Bandung, Yogyakarta ataupun Medan, namun lebih terfokus mengenai kepindahan Hasbi ke Jawa, apa benar dia ada garis keturunan dengan Abubakar Ash Shiddieq sehingga menambah gelar “Ash Shiddieqy” dibelakang namanya. Terlepas apakah dia pakai gelar Ash Shiddieqy dibelakang namanya, namun satu hal sebetulnya yang penting dibahas apa kontribusi Hasbi dalam pengembangan Ilmu Fiqh, peranan dalam memajukan pendidikan

Kepakaran Hasbi cukup diakui oleh Dunia Internasional. Bangsa ini boleh bangga, bahwa seorang tamatan dayah, dan belum berpredikat Profesor (1957, dia diangkat sebagai Gurubesar IAIN pada tahun 1960), Universitas Punjab, Lahore, mengundang Hasbi untuk mempresentasikan makalah dengan judul: The Attitude of Islam toward Knowledge. Hasbi yang tak menguasai bahasa Inggris, namun makalah yang dibawanya dalam Bahasa Arab cukup pasih dan mendapat pujian dari pakar-pakar Islam yang hadir dalam Colloquium tersebut.

Undangan Pemerintah pada Desember 1975 untuk Hasbi dan isteri dapat menunaikan ibadah haji, tak sempat dipenuhi, karena beberapa hari menjelang ke berangkatan pada tanggal 9 Desember 1975 Hasbi berpulang kerahmatullah di rumah sakit Islam Jakarta.

Ada beberapa sikap Hasbi yang tercermin dalam perilaku keilmuannya.,

a. Perjuangan memperkenalkan kebenaran kepada masyarakat harus dilakukan dengan sepenuh hati dan kegigihan yang luar biasa dan tidak takut terhadap segala rintangan karena niatnya semata-mata karena Allah swt.

b. Bahwa membuka diri terhadap perubahan serta mencari ilmu dan informasi dari berbagai sumber adalah satu keharusan untuk mendapatkan hakikat kebenaran

c. Bahwa kita harus mendengar, menghargai, menggali secara mendalam pendapat para ulama terlebih dahulu sebelum mengungkapkan pendapat kita.

d. Bahwa kemauan menuntut ilmu dan kegigihan mendalami ilmu agama tidak terbatas pada bangku sekolah dan pendidikan formal.

Alhamdulillah penderitaan-penderitaan yang dialami almarhum di Aceh tak separah yang dialami Rasulullah saw pada awal Islam di Mekkah.

Hasbi mengalami nasib yang sungguh berbeda setelah hijrah dari Aceh.

Dari seorang yang tak berijazah S1, dan seorang yang berlajar huruf Latin secara sembunyi-sembunyi, nama Hasbi kini dikenal luas sampai ke mancanegara.

Menteri Agama R.I H. Muhammad Maftuh Basuni, sangat menghargai apa yang dikerjakan Hasbi dan kontribusinya kepada dunia ilmu pengetahuan, sehingga lewat Departemen Agama R I, Hasbi diusulkan untuk mendapat Gelar Bintang Maha Putra Utama, dan usul ini kemudian berwujud.

Ada beberapa thesis Doktor yang ditulis mengenai Hasbi, baik di Mc Gill University di Montreal, Canada, Universitas Kebangsaan Malaysia di Kuala Lumpur, Universitas Al Azhar, Cairo,

Kesan yang muncul sekarang, adalah penilaian terhadap Hasbi semata-mata karena sikap tidak senang dan tidak mau tahu.. Tanpa mempelajari buku Hasbi, hanya berdasarkan “kata orang” muncul berbagai penilaian terhadap Hasbi, yang kadangkala mendekati fitnah, seperti Hasbi tidak pernah shalat Jum’at di Masjid, dan selama 15 tahun di Yogyakarta, dia menganggap dirinya seorang musafir yang boleh mengqasharkan shalat lima waktu. Kedua hal yang terakhir sama sekali tidak benar.

Ada cerita lucu, bahwa pada suatu ketika ada orang menyodorkan sebuah buku tanpa kulit muka. Setelah buku itu dibaca, sambil mengangguk-angguk dia memuji tulisan pengarangnya dia memuji pendapat yang tertera dalam buku itu. Namun dia agak malu, ketika kulit buku dipasangkan kembali dan ternyata buku tersebut adalah karya Hasbi.

Penulisan mengenai perjalanan hidup Hasbi ini dimaksukan agar kita di Aceh bisa terbuka mata, bisa menghargai orang yang mengabdikan dirinya kepada dunia pengetahuan tanpa pamrih.

Bila kita rajin membaca buku Hasbi, bisa dibaca bahwa dia tak pernah menyerang pribadi orang yang tidak sependapat, tidak pernah mengeluarkan kata-kata hujatan bahwa pendapat lawannya itu sesat menyesatkan. Kata-kata “sesat menyesatkan” sering dialamatkan kepadanya. Dan reaksi beliau adalah mengemukakan dalil baik dari Al Qur-an maupun dari Sunnah, mengapa dia berpendapat demikian.

Kalau kita ingin maju, baca buku yang banyak perbandingkan isinya, pilih mana yang benar menurut pendapat kita. Kalau kita tak mau membaca, menggantungkan pendapat kepada apa yang “kata orang”, kita akan dilanda badai reformasi pemikiran baru dan kita akan “ketinggalan kereta”. Jangan karena ingin meniru Nabi kita enggan berwudhu lewat keran air, dan tetap berwudhu dari air kolam.

1 komentar:

bekka plond mengatakan...

Yayasan ini hendaknya membuat ebook buku buku karya M. Hasbi Ash shiddieqy yang tentunya apabila dapat dibaca semua kalangan bisa menjadi amal jariah beliau Amin ya Rabbal Alamin