Rabu, 23 Juli 2008

APAKAH SHALAT ‘IED HUKUMNYA "SUNNAT"


Dalam merayakan ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha tahun 1428 H, muncul pendapat yang mengatakan bahwa Shalat ‘Ied hukumnya Sunnah serta Indonesia tidak perlu mengikuti rukyah Arab Saudi karena berbeda mathla’.

Untuk kedua peristiwa keagamaan ini, penetapan 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah, Pemerintah menetapkan tanggal yang berbeda dengan penetapan Pemerintah Arab Saudi. Untuk meyakinkan sebagian masyarakat yang merayakan ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha yang lebih memilih merayakannya bersama umat Islam di Arab Saudi Pemerintah menghimbau agar umat Islam di Indonesia menyelenggarakan shalat .Ied pada hari yang sesuai dengan Keputusan sidang Isbat yang diselenggarakan di Departemen Agama.

Terhadap pendapat diatas, kami punya pandangan yang berbeda.

1. Shalar ‘Ied hukumnya “wajib”, bukan sunnat..

Shalat ‘Ied hukumnya “wajib”, jika kita mencontoh amalan Nabi saw, Shalat ini diwajibkan (difardhukan) juga terhadap kaum perempuan. Para ulama berselisih paham dalam menetapkan hukum tentang shalat ‘Ied. Namun pendapat yang haq dalam hal ini adalah bahwasanya shalat ‘Ied hukumnya “wajib”.

Mari kita kaji mengapa shalat ‘Ied dihukum “wajib”.

a) Shalat ‘Ied adalah syiar Islam yang paling semarak Rasulullah saw dan para sahabatnya tidak pernah meninggalkannya,

b) Jika shalat ‘Ied ini adalah shalat sunnat, tentulah Rasulullah pernah meninggalkannya barang sekali saja. Sebagaimana Rasulullah pernah meninggalkan shalat malam dibulan Ramadhan, dan beliau pernah meninggalkan wudhu bagi tiap – tiap shalat. Hal ini menunjukkan bahwa shalat malam dibulan Ramadhan, bukan wajib - hanya sunnah dan wudhu itu tidak wajib untuk setiap shalat. Kita boleh mengerjakan shalat sebanyak-banyaknya dengan sekali wudhu saja, jika wudhu itu belum batal.

c) Selain itu, shalat ‘Iedain diperintahkan Allah, sebagaimana perintah terhadap shalat Jum’at.

Firman Allah swt.:” Maka bershalatlah engkau untuk Tuhanmu dan sembelihlah qurban” (Q. Al Kautsar, 108)

d)Rasulullah memerintahkan para sahabatnya pergi ke Tanah Lapang (Mushalla) untuk bershalat bersama beliau, setelah pasti diketahui terlihat bulan.

d. Rasulullah memerintahkan para gadis, dan perempuan-perempuan pingitan bahkan perempuan yang berhaid pun untuk pergi kemajlis ‘Ied ini (Walaupun perempuan berhaid berada ditempat terpisah)

e. Rasulullah tidak memerintahkan perempuan haid hadir di shalat Jum’at.

Sabda Rasulullah:“Lima Shalat telah difardhukan Allah swt atas seseorang hamba dalam sehari semalam”, tidak meniadakan kefardhuan shalat ‘Ied, karena shalat lima waktu itu adalah wadhifah (tugas) harian, sedang shalat ‘Ied adalah wadhifah tahunan.

Karena itu tak ada halangan bagi sebagian ulama mewajibkan dua rakaat shalat thawaf karena thawaf bukanlah wadhifah sehari-hari yang dikerjakan berulang-ulang. Juga tak ada halangan mewajibkan shalat jenazah, mewajibkan sujud tilawah, mewajibkan shalat khusuf, sahalat kusuf dan sebagainya.

f. Dan diantara dalil yang menguatkan bahwa shalat ‘Ied merupakan shalat wajib, adalah bahwa shalat ‘Ied dapat menggugurkan shalat Jum’at apabila jatuh pada hari yang sama. Andaikata shalat ‘Ied itu hukumnya sunnat, tentulah tidak dapat menggugurkan shalat fardhu.

g. Menurut Asy Syafi’i dalam al Mukhtasar: “Barangsiapa wajib atasnya menghadiri Jum’at, wajiblah atasnya menghadiri shalat ‘Ied”.

2. Rukyah Mekkah yang harus dijadikan pegangan bersama

Al Allamah Asy Syeikh Muhammad Abu Zahrah dalam salah satu tulisannya berpendapat: “Dengan tidak ragu-ragu kami memilih pendapat Jumhur yang tidak menempatkan ikhtilaful mathali sebagai titik tolak puasa, yaitu pendapat yang ingin mewujudkan persatuan dan kesatuan ummat Islam dalam menghadapi ibadah dan penentuan hari bulan. Beliau juga menandaskan bahwa membiarkan rukyah Kepada Negara (Pemerintah) yang lebih awal mathla’nya, padahal ada kemungkinan Negara itu pada suatu ketika tidak dapat melihat bulan, karena mendung yang sangat tebal, menyebabkan hukum Islam tidak mempunyai fondasi yang kokoh dan tetap.

Karena itu wajiblah kita jadikan mathla’ negara Islam yang mempunyai kedudukan yang tinggi dimata seluruh dunia Islam, mathla’ yang harus dipegang bersama.

Allah dalam menentukan negeri ini, tidak menyerahkan kepada pilihan dan pertimbangan kita masing-masing. Agar tidak menimbulkan perselisihan dan perbedaan pendapat syara’ telah mengisyaratkan pada yang demikian itu dan menjadikan tumpuan manusia semua. Disini diletakkan kiblat mereka yaitu Mekah. Disitu terletak Ka’bah, al Baitul Haram, disekitarnya terletak Arafah. Disana terletak Shafa dan Marwah, disitulah Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul dan diberikan risalah..

Dialah Al Baladul Haram. Dialah tumpuan umat Islam seuruhnya dalam bershalat. Disanalah para haji berkumpul setiap tahun.

Kalau demikian, layaklah mathla’nya kita jadikan mathla’ pemersatu umat Islam dalam melaksanakan ibadah yang dipautkan dengan bulan, bukan dengan matahari.

Tuhan swt. telah memilihnya untuk kita. Sangatlah buruk apabila masing-masing daerah bertahan pada mathla’nya karena hal itu mengakibatkan ada penduduk daerah yang merayakan hari Arafah (wuquf) sebelum penduduk Mekkah berwuquf, Begitu pula sebaliknya. Demikian juga menyembelih hadyu dan qurban, walaupun ada ulama yang membolehkannya. Fatwa ulama ini, walaupun sesuai dengan qiyas fiqh namun telalu jauh dari pengertian keagamaan dalam merayakan hari-hari yang mulia.

Jubair ibn Muth’im meriwayatkan dari Rasulullah, sabdanya: “Arrafatu kulluha wa ayyamut tasyriqi kulluha dzibhun= padang Arafah semuanya menjadi tempat wuquf, dan segala hari tasyrik, adalah hari menyembeli hadyu (qurban).”

Nabi menetapkan dengan sabdanya ini bahwa hari-hari tasyrik, haruslah beriringan dengan hari wuquf. Hal ini meliputi semua umat Islam. Maka perayaan hari tasyrik tidaklah mengenai para haji saja. Menetapkan hari tasyrik di setiap daerah. haruslah didasarkan pada hari wuquf di Arafah.. Dengan demikian , tidaklah pada tempatnya, sesuatu daerah Islam menjadikan tasyrik sebelum hari tasyrik di Mekah atau sesudahnya.

Diriwayatkan oleh Al Bukhary, bahwasanya Ibnu Abbas menafsirkan ayyaman ma’dudat dengan hari tasyrik. Ayat ini diturunkan sesudah selesai mengerjakan haji. Hal itu memberi pengertian bahwa hari tasyrik haruslah mengiringi dengan hari wuquf yang sebenarnya terjadi di Mekkah.

Dengan demikian, perayaan hari Arafah, hari nahar, hari tasyrik, haruslah didasarkan kepada mathla’ Mekkah. Mathla’ nyalah yang harus menjadi satu-satunya mathla’ untuk menetapkan hari-hari ibadah yang berpautan dengan bulan dan mathla’nya.

.

oleh :.H.Z Fuad Hasbi

Direktur Pusat Studi Islam dan Perpustakaan

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy

Tidak ada komentar: